Opinions from nobody

  • Pahlawanku, Pahlawanmu

    Saya teringat dengan monolog Anton Ego yang merefleksikan kalimat seorang restoranteur Gusteau: Everyone can cook (Semua orang bisa memasak). Monolog yang menjadi kulminasi film tersebut diakhiri dengan sebuah epifani bahwa tidak semua orang akan bisa menjadi koki hebat, tetapi koki hebat bisa datang dari siapapun, termasuk Remy, seekor tikus yang memasak sebuah masakan nostalgik bagi Anton Ego yang menjadi judul film animasi ini, Ratatouille.

    Apakah makanan ini begitu enaknya? Atau hanya memantik rasa nostalgik subjektif dari Anton Ego akan masakan mendiang ibunya ketika dia kecil? Saya percaya yang terakhir.

    Sama halnya dengan rasa subjektif dari sebuah makanan, penetapan pahlawan di Indonesia juga berkelindan dengan rasa subjektif dan nostalgia. Bagi sebagian orang, Soeharto memang merupakan pahlawan yang berjasa bagi seorang bangsa, namun jelas tidak bagi sebagian besar orang lainnya. Begitu juga nama Sarwo Edhie Wibowo yang dikenang karena jasanya menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI), tentu tersimpan dalam benak banyak manusia Indonesia yang tumbuh besar dengan karya-karya Menteri Penerangan yang mengisahkan kekejaman PKI.

    Melihat reaksi yang muncul dari pengangkatan kedua orang ini mendorong saya untuk menelusuri siapa saja pahlawan Indonesia selama ini. Hal ini membuat saya menyadari mungkin menjadi pahlawan tidak sepenting itu apabila orang awam seperti diri saya tidak akan tahu tanpa bantuan internet. Mungkin, pahlawan sebenarnya adalah DARPA yang memprototipekan internet bagi dunia. 

    Setelah membuka laman Wikipedia, saya menemukan rentetan nama-nama yang tidak pernah saya kenal yang telah ditetapkan sebagai pahlawan Indonesia. Sangat menggelitik ketika beberapa nama di antara mereka adalah orang-orang yang hidup ratusan tahun sebelum kata “Indonesia” terucap pertama kali oleh George Samuel Windsor Earl dan dipopulerkan oleh James Richardson Logan — kedua orang yang mungkin sangat berjasa bagi lahirnya “Indonesia”. Pahlawan-pahlawan pra Indonesia ini hidup pada zaman kerajaan yang masing-masing menguasai daerahnya. Baabulah seorang penguasa Ternate pada abad ke-16 yang saya tidak pernah dengar namanya dalam buku sejarah saya, kini akan selalu berada dalam benak saya. Saya yakin tidak akan terbayang di benak mereka bahwa ratusan tahun setelah wafatnya mereka akan menjadi pahlawan dan dikenang dalam laman Wikipedia yang akan terus ada selamanya — atau sampai Wikipedia bangkrut.

    Penetapan Soeharto dan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional tidak seharusnya dikecam karena — seperti halnya Baabulah — bukti nyata bahwa “setiap orang dapat menjadi Pahlawan Nasional” — sama halnya refleksi Anton Ego. Dengan mengingat Soeharto, Sarwo Edhie, dan Baabulah, jutaan masyarakat Indonesia — atau setidaknya saya — memiliki semangat hidup karena mengetahui suatu saat nanti, mungkin ratusan atau jutaan tahun kelak, terdapat kemungkinan keturunan saya berhasil memenangkan hati masyarakat, menjadi Presiden, dan menetapkan saya sebagai pahlawan nasional. Dengan begitu, saya dapat menjadi salah satu dari sekian ratusan (atau di masa depan, jutaan) manusia yang diabadikan dalam laman Wikipedia yang moga-moga masih ada.

  • Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dalam Perspektif 

    Ketakutan mengenai penulisan ulang sejarah Indonesia disuarakan pelbagai kalangan. Kekhawatirannya sederhana, Pemerintah memonopoli sejarah, menjadikannya penafsir tunggal dan resmi terhadap sejarah (sole interpreter of history). Tujuan seluruh penulisan ulang ini juga tidak ditutup-tutupi, untuk kepentingan bangsa dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme warganya. Dengan melihat citra yang kian merosot dari Pemerintah di mata publik, tidak heran komplain ini diajukan, apalagi dengan lantang.

    Proyek yang digadang oleh Kementerian Kebudayaan era Presiden Prabowo Subianto memang layak dikritisi, khususnya apakah tujuan dari penulisan ulang sejarah ini akan benar-benar tercapai.

    Pertama, ambisi mempunyai satu versi sejarah berjalan diametral dari tsunami informasi yang dimungkinkan oleh revolusi digital. Proliferasi informasi yang dapat digenerasi oleh individu manapun sejauh jangkauan ibu jari menenggelamkan masyarakat di tengah pilihan. Setiap harinya, masyarakat disuapi informasi melalui media yang secara algoritmik menentukan apa yang kita mau. Pola konsumsi informasi ini membentuk fenomena ruang gema (echo chamber) yang membungkus setiap individu pada narasi dan informasi yang sejalan dengan kepentingannya. Tidak hanya itu, narasi yang kian memantik emosi pembaca dan menghasilkan interaksi semakin sering disodorkan, membuat kita bertanya apa bedanya satu informasi versi Pemerintah dari informasi lainnya. Apa jaminan bahwa sejarah resmi yang dibuat Pemerintah ini yang menjadi acuan? Apa yang membuat sejarah resmi ini unggul dibanding sumber-sumber informasi lainnya? Pada akhirnya, produk Pemerintah yang ambisius ini tetap harus terjangkar pada realita yang eksis di tengah masyarakat.

    Kedua, dengan tujuan blak-blakan yang disodorkan ke publik untuk kepentingan negara, apa alasan kita tidak meragukan sejarah resmi ini? Bukankah terdapat konflik kepentingan dari Pemerintah untuk membingkai sejarah yang menguntungkan dirinya? Berkembangnya pemikiran post-modernis dalam berbagai lini budaya dan sains menunjukkan bagaimana kekuasaan dan realitas selalu layak dikritisi, khususnya dari aktor pembentuknya. Dalam konteks sains modern, seluruh penelitian dan artikel ilmiah wajib disertakan dengan sebuah pengungkapan mengenai sumber dana sebagai bentuk kejujuran akademis penulisnya akan konflik kepentingan. Dengan diselubungi kepentingan pemerintah yang begitu kental, seluruh informasi yang diproses akhirnya selalu diiringi dengan sebuah sangkalan (disclaimer): untuk kepentingan Pemerintah Republik Indonesia. Munculnya informasi-informasi yang membangkang pada buku teks sejarah Indonesia yang diajarkan, seperti mitos Indonesia dijajah selama 350 tahun, atau bahkan pemberlakuan kerja paksa untuk menghubungkan penghujung Jawa, mencerminkan tantangan dalam memonopoli sejarah yang tidak pernah selesai.

    Terakhir, jika pun sejarah resmi ini hendak digunakan (dipaksakan) untuk membumi di tengah masyarakat, apakah ia akan mampu membangkitkan rasa nasionalisme dari pemuda-pemudi Indonesia? Apakah pola asuh paternalistik dari seorang Pemerintah yang citranya kian membusuk inilah yang diperlukan masyarakat Indonesia? Apakah hanya dengan memperlakukan masyarakat Indonesia sebagai makhluk tak berakal, tidak mampu berpikir kritis, tidak mampu memilah informasi, dan tidak mampu mencari kebenaran ini sajalah rasa nasionalisme ini bisa tumbuh? Preseden ini semua seyogianya dapat digali dari sisa-sisa perangkat masa pemerintahan Orde Baru yang melalui Kementerian Penerangan memonopoli informasi. 

    Ketiga problematika ini tentu bukan alasan untuk menolak penulisan ulang sejarah resmi Indonesia. Melainkan, sebagai panggilan untuk mengefektifkan proyek ambisius ini sehingga dapat memunculkan manfaat bagi publik, khususnya generasi mendatang untuk–seperti yang Bung Karno katakan–jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah

Nobody

The pieces of opinion in this website belongs to Nobody: unimportant, insignificant, and inconsequential individual.

Cliff Palace, Colorado